“PUASA SUNNAH DAN KHUTBAH”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Praktek Ibadah
Dosen Pembimbing : Drs. H. Abd. Hanan, M. Pd.I.
Disusun oleh :
Haris Mulyawan
2014.17.01989
Semester 3
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
(IAI BBC)
2016-2017
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “PUASA-PUASA SUNNAH”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai
observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang
pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Cirebon, November 2016
DAFTAR ISI:
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
BAB. I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
BAB. I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan...............................................................................................
C. Metode Penulisan.............................................................................................
BAB. II
PEMBAHASAN ...................................................................................
A. Puasa Sunnah...................................................................................................
B. Ketentuan puasa sunnah...................................................................................
C. Macam-macam puasa sunnah...........................................................................
A. Puasa Sunnah...................................................................................................
B. Ketentuan puasa sunnah...................................................................................
C. Macam-macam puasa sunnah...........................................................................
D.
Khutbah........................................................................................................................
BAB. III PENUTUP............................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
BAB. III PENUTUP............................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
B. Kritik dan Saran...............................................................................................
C. Daftar Pustaka..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Puasa dalam bahasa
Arab di istilahakan dengan “shaum” atau
“shiyam”. Secara terminology “shaum” atau “shiyam” Itu berarti “al-
imsak”yaitu menahan dari apa saja. Ibnu Mandzur memberikan penjabaran untuk
maksud “menahan diri” yaitu meninggalkan
makan, minum, hubungan suami isti, dan berbicara. Sedangkan puasa secara
syar’i adalah “ Menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan apa
saja yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari, dengan mengharap ridha Allah SWT.[1][1]
Di dalam syariat islam
puasa digolongkan menjadi dua yaiti puasa wajib dan sunnah, puasa wajib merupakan salah satu dari rukun islam, yaitu puasa Ramadhan, Selain puasa
wajib ada juga puasa sunnah yang diperintahkan Rasullah seperti puasa 6 hari
pada bulan syawwal, puasa pada hari
senin dan kamis, puasa ‘arafah,dan Puasa Asyura’ masih banyak lagi
B.
Tujuan penulisan
a. Memahami keutamaan-keutamaan sunnah
b. Menjelaskan Macam-macam Puasa Sunnah
C.
Metode penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis
menggunakan metode kepustakaan
buku dan webseat yang bahan nya bersangkutan
dengan isi makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PUASA SUNAH
Puasa Sunah adalah puasa yang apabila
dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Sabda Nabi Saw,
Artinya: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulullah Saw,
dia bertanya: Ya,
Rasulullah, terangkan kepadaku tentang
puasa yang difardukan
Allah atas diriku.
Rasul menjawab: bulan
Ramadlan. Orang itu
bertanya lagi, Adakah puasa yang
lain yang diwajikan atas diriku?, Rasul menjawab: Tidak, kecuali engkau
mengerjakan puasa tatawu’ (sunah). (HR.Bukhori
dan Muslim)
Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi
kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan
derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al
muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan
cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran
yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk
memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
2.2 Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
1. Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit
fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan
sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah R.a ا,
ia berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ فَقُلْنَا:
لا. قَالَ: فَإِنِى إِذًا صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَر. فَقُلْنَا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ . فَقَالَ: أَرينيْهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ
صَائِمًا، فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi SAW menemuiku dan
bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang
lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais
(makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata,
“Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154).
An Nawawi رحمه الله memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab:
Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal
(bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun
tanpa udzur. ”
- Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.2
- Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.
- Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya
ada kecuali dengan seizinnya.” (HR.
Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
Imam An Nawawi رحمه الله menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa
diakhirkan.” 3
Beliauرحمه الله menjelaskan
pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang
dengannya.”
2.3 Macam-macam Puasa Sunah
1. Puasa hari Senin dan
Kamis.
Sabda nabi SAW
“ Adalah nabi SAW selalu
berusaha untuk puasa senin dan kamis”. (HR. Tirmizi).[2][2]
Artinya: Rasullullah pernah ditanya
tentang sebab-sebab disyariatkanya puasa
Senin-Kamis. Rosulullah
menjawab dalam hadits
yang artinya, “
Amal-amal kita ditunjukan
kepada Allah pada setiap hari Senin dan Kamis, oleh karena
itu, aku suka ketika amal-amalku ditunjukan kepada Allah, aku sedang puasa,” (HR. Ahmad)
Dasar Hukum: Diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid R.a, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw selalu
berpuasa pada hari Senin dan Kamis, mana kala beliau ditanya tentang hal
tersebut, beliau menjawab:
إِنَّ أَعْمَالَ اْلعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ
الإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ
“Sesungguhnya
amal-amal hamba dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis."
2. Puasa selama 6 hari pada bulan Syawal
puasa sunnah 6 hari di bulan syawal (puasa syawal) adalah
puasa sunnah yang dianjurkan oleh rasulullah saw, sebagai penyempurna ibadah
puasa ramadan. bila dikerjakan maka nilai pahalanya sama dengan (berpuasa
sepanjang tahun.
Sebagai dasar hukum dari puasa sunnah 6 hari di bulan
syawal adalah berdasarkan hadits Rasulullah Saw, dari Abu Ayyub Ra, bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan meneruskannya dengan
puasa 6 hari di bulan Syawal, berarti dia telah berpuasa
selama setahun.”(Hr. Muslim)[3][3]
Rasulullah Saw biasa puasa Syawal
6 hari berturut-turut, tapi sebagian ulama memperbolehkan tidak harus
berturut-turut 6 hari, namun pahalanya insya allah sama dengan yang
berturut-turut.
namun, menurut pendapat beberapa
ulama termasuk Syaikh Utsaimin, mengerjakannya dengan berurutan, itu lebih
utama karena menunjukkan sikap bersegera dalam melaksanakan kebaikan, dan tidak
menunda-nunda amal yang bisa menyebabkan tidak jadi berama.
3. Puasa hari Arafah (9
Zulhijjah atau sebelum Idul Adha)
Puasa Arafah
adalah puasa yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah dinamakan
demikian karena saat itu jamaah haji sedang wukuf di terik matahari di padang
Arafah. Puasa Arafah ini dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji. Sedangkan
yang berhaji tidak disyariatkan puasa ini.
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ
هَؤُلاَءِ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ
“Di antara hari yang Allah
banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati
mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian
Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah
hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa
saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak
melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul
Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang
melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan
pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.” (Lathoif Al Ma’arif,
482)
Mengenai keutamaan puasa Arafah disebutkan dalam hadits
Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan
dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan
menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah adalah di antara jalan
untuk mendapatkan pengampunan di hari Arafah. Hanya sehari puasa, bisa
mendapatkan pengampunan dosa untuk dua tahun. Luar biasa fadhilahnya ...
Hari Arafah pun merupakan waktu
mustajabnya do’a s ebagaimana disebutkan
dalam hadits,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى
وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a
pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh
para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai
segala sesuatu)”.” (HR.
Tirmidzi, hasan)
Praktik
Puasa Arafah bisa diikuti
dengan Puasa Tarwiyah.
Jadi pada tanggal
8 Zulhijjah, berpuasa Tarwiyah disambung dengan puasa
Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah.
4.
Puasa hari Asyura ( tanggal 10 Muharam)
Pada Muharram, awal tahun baru hijriyah. Berdasarkan dalam
beberapa hadis, terdapat anjuran dari pada Rasulullah SAW kepada umat Islam
untuk berpuasa pada tanggal sepuluh bulan Muharram. Tanggal sepuluh bulan
Muharram biasa disebut dengan Hari ’Aasyuura (Hari kesepuluh bulan Muharram).
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Mereka pun menjelaskan bahawa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah SWT telah menolong Nabi Musa as bersama kaumnya dari kejaran Firaun dan bala tenteranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Firaun disebabkan kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu, maka Nabi SAW pun menyatakan bahawa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa as. Setelah itu, baginda pun menganjurkan kepada kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ’Asyuura. Lalu beliau bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Mereka pun menjelaskan bahawa hal itu untuk memperingati hari dimana Allah SWT telah menolong Nabi Musa as bersama kaumnya dari kejaran Firaun dan bala tenteranya. Bahkan pada hari itu pula Allah telah menenggelamkan Firaun disebabkan kezalimannya terhadap Bani Israil. Mendengar penjelasan itu, maka Nabi SAW pun menyatakan bahawa ummat Islam jauh lebih berhak daripada kaum Yahudi dalam mensyukuri pertolongan Allah kepada Nabi Musa as. Setelah itu, baginda pun menganjurkan kepada kaum muslimin agar berpuasa pada hari ’Asyuura.
لَهُمْ فَقَالَ عَاشُورَاءَ يَوْمَ صِيَامًا الْيَهُودَ فَوَجَ دَ الْمَدِينَةَ قَدِمَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولَ أَنَّ
مُوسَى فِيهِ اللَّهُ أَنْجَى عَظِيمٌ يَوْمٌ هَذَا فَقَالُوا تَصُومُونَهُ الَّذِي الْيَوْمُ مَا هَذَا وَسَلَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ
صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ فَقَالَ نَصُومُهُ فَنَحْنُ شُكْرًا سَى مُو فَصَامَهُ وَقَوْمَهُ فِرْعَوْنَ وَغَرَّقَ وَقَوْمَه
صَلَّى اللَّهِ رَسُولُ فَقَالَ نَصُومُهُ فَنَحْنُ شُكْرًا سَى مُو فَصَامَهُ وَقَوْمَهُ فِرْعَوْنَ وَغَرَّقَ وَقَوْمَه
بِصِيَامِهِ وَأَمَرَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولَ فَصَامَهُ مِنْكُمْ بِمُوسَىوَأَوْلَىأَحَقُّفَنَحْنُ
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW tiba di Madinah dan mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hari apakah ini sehingga kalian
berpuasa padanya?” Mereka (kaum Yahudi) menjawab: ”Ini adalah hari agung dimana
Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Firaun beserta
kaumnya, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur sehingga kami
pun berpuasa.” Maka Rasulullah SAW bersabda: ”Kami (kaum Muslimin) lebih berhak
atas Musa daripada kalian (kaum Yahudi). Maka Rasulullah SAW pun berpuasa dan
menyuruh (kaum muslimin) berpuasa.” (HR Muslim)
Adapun fadhillah (keutamaan)
berpuasa pada hari ’Asyuura ini? Nabi Muhammad SAW berdoa agar sesiapa yang
berpuasa ’Asyuura, agar Allah mengampuni dosanya selama satu tahun yang telah
berlalu.
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa hari
‘Asyura, aku memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa)
satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim)
5.
Puasa pada bulan Sya’ban
Bulan Sya'ban adalah bulan di saat Nabi
Muhammad saw melakukan puasa sunnahnya yang terbanyak. Di bulan-bulan lain,
Nabi tidak melakukan puasa (sunnah) sebanyak di bulan Sya'ban. Namun tak ada
kejelasan, tepatnya berapa hari yang disunnah kan berpuasa.
Dari Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW
tidak pernah berpuasa (sunah) pada satu bulan lebih banyak daripada bulan
Sya’ban. Sungguh beliau berpuasa pada seluruh bulan Sya’ban.”
Dalam sebuah riwayat dikatakan, “Beliau
berpuasa di seluruh bulan Sya’ban kecuali beberapa hari saja beliau tidak
berpuasa.” (Muttafaq Alaihi).
Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain).
Al-Albani mensahihkan “Allah melihat
kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Sya'ban, maka Dia ampuni semua
hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang
benci membenci)".(hadith ini
dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah
al-Ma`arf, Riyadh).
Itulah kebiasaan yang kerap dilakukan
Rasulullah SAW pada Sya’ban. Beliau mengisi hari-harinya pada bulan Sya’ban
dengan memperbanyak puasa sunah demi mengharap rida Allah SWT.
6. Puasa Hari Abyadh (puasa setiap tanggal 13,14
dan 15 bulan Qomariyah)
Disunnahkan untuk
melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15
setiap bulan. Sehingga tidaklah benar anggapan sebagian orang yang menganggap
bahwa puasa pada harai putih adalah puasa dengan hanya memakan nasi putih,
telur putih, air putih, dsb.
7. Puasa Dawud ( sehari puasa sehari buka)
Hal ini di dasarkan kepada hadits Nabi SAW:
Artinya:”Puasa yang paling dicintai Allah SWT adalah
puasa Dawud Dan Shalat yang paling dicintai Allah adalah Shalat Nabi , biasanya
Dia tidur sampai pertengahan malam lalu bangun spertiganya dan tidur lagi
seperenam malamnya.Beliau biasanya puasa sehari dan berbuka sehari”, (HR.
Bukhari)[4][
Khutbah
Secara
terminologi khutbah adalah ceramah yang menggunakan ajaran agama. Khutbah
merupakan kegiatan dakwah yang paling efektif yang bertujuan untuk mengajak
orang lain untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dengan memberi nasihat yang
isinya berupa ajaran agama.
Dalam ajaran
agama Islam ada beberapa macam jenis khutbah antara lain:
1.
Khutbah Jum’at
2.
Khutbah Idul Fitri
3.
Khutbah Idul Adha
4.
Khutbah Istisqa
5.
Khutbah Pernikahan
A.
KHOTIB
Khotib adalah
seorang Da’i yang melakukan khutbah sholat Jum’at. Khotib harus dari seorang
muslim yang memiliki pengetahuan Islam yang luas, khotib juga harus memiliki
mental yang kuat.
Ketentuan-ketentuan
untuk menjadi khotib:
1.
Menguasai rukun, syarat dan sunnah khutbah jum’at
2.
Hafal Al-Qur’an dan Hadits
3.
Berpakaian rapi dan sopan
4.
Bahasanya mudah dipahami
5.
Baligh
6.
Ikhlas
7.
Materinya siap
B.
Syarat Khutbah Jum’at
Syarat adalah
sesuatu yang harus dipenuhi dalam melaksanakan Sholat Jum’at.
Syarat-syarat
khutbah Jum’at:
1.
Masuk Sholat Dhuhur
2.
Berdiri di atas mimbar
3.
Laki-laki
4.
Duduk diantara dua khutbah
5.
Suaranya keras
6.
Harus berurutan
7.
Suci dari hadas dan najis
8.
Tertutup auratnya
C.
RUKUN KHUTBAH
Rukun khutbah
adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh khotib ketika khutbah Jum’at. Rukun
khutbah harus dipenuhi, jika tidak maka tidak sah.
Rosululloh SAW
bersabda:
اَنَّهُ كَانَ لاَيُطِيْلُ الْمَوْعِظَةِ يَوْمَ
الْجُمْعَةِ اِنَّمَا هِيَ كَلِمَاتٌ يُسِيْوَاتٌ
(روه ابو داود)
Artinya: Tiada
memanjangkan nasihatnya pada hari Jum’at beliau memberikan amanat-amanat yang
ringkas saja (HR. Abu Daud).
Rukun Khutbah:
1.
Pujian-pujian
2.
Syahadatain
3.
Sholawat Nabi SAW
4.
Meningkatkan Iman dan Taqwa
5.
Baca ayat Al-Qur’an
6.
Do’a
D.
SUNNAH KHUTBAH JUM’AT
Sunnah khutbah
adalah segala sesuatu yang dikerjakan akan mendapatkan kesempurnaan dalam
sholat Jum’at.
Sunnah Khutbah
Jum’at:
1.
Diatas mimbar
2.
Fasih, jelas mudah dipahami
3.
Salam
4.
Materi sederhana
5.
Duduk sebentar waktu adzan
6.
Puji-pujian, sholawat
7.
Jama’ah diam
E.
FUNGSI KHUTBAH JUM’AT
1.
Meningkatkan Iman dan Taqwa
2.
Terjalinnya Ukhuwa Islamiyah dan Silaturrahmi
3.
Sebagai media dalam meningkatkan sesama
4.
Meningkatkan persatuan dan kesatuan
5.
Memberikan tambahan pengetahuan
6.
Menjadi kontrol diri dan sosial di masyarakat
7.
Membentuk generasi Islam yang berakhlak mulia
8.
Mempertahankan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kritik dan saran
Daftar pustaka
Basri, Helmi. Fiqih Ibadah, Pekanbaru:
Suska press. 2010
Ridwan hasa, Fiqih Ibadah. Bandung:
Pustaka Setia bandung. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar