BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
GERHANA
Dalam
istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari
atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna
hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula
yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah
gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. Jadi, shalat
gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu,
ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur
ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah
muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat
gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah,
beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau
menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah
berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.
Adapun yang
lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah yang
datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga
menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah
dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah. Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah
berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian
melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan
peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah
dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu
menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya
sunnah
tatkala kita melihat banyak orang
yang meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali
tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka,
pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang
menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya
kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang
mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang
melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali,
masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia,
sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah,
yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun
menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah
wajib kifayah.”
Adapun shalat gerhana bulan,
terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah
muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana
matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan
pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat
dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Dalil mereka:
“Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak
mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya
seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah
dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun
‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak
dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.
Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari
lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering
dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam
hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian
antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan).
Sebagaimana di dalam hadits
disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju
masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri
dalam shaf di belakangya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah
juga berkata, “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana
berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya
dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan
demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.”
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat
dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena
itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai
kembali terang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat
gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang
seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian
pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua
perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari.
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA
TERJADI GERHANA
1.
Memperbanyak
dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah
kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2.
Keluar
menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar
menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat
berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
3.
Wanita
keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits
Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi
‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana
matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula
‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)Jika dikhawatirkan akan
terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri
di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
4.
Shalat
gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk
shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan
didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma,
ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan
didirikan). (HR Bukhâri)
5.
Khutbah
setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu’anha
berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala
selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri)
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada
perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para
ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini
terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam
Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua
raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’
dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana
matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan
orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti)
membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu
berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari
berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua
lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia
berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah
melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri
kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’
dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya
mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri
yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang
kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali
ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang
sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang
dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu
Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at
satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya.
Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu
Bakrah, ia berkata:
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya
menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut
melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR
Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah
pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang
menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan
orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat
mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas)
ulama adalah muqayyad.
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat
gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua
ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca
surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan:
sami’allhu liman hamidah.
4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi
membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya
saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan:
sami’allahu liman hamidah.
7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu
sujud lagi.
8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya
melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.dan sesudah itu sunnah pula imam dan
khatib berkhutbah sebagaimana khutbah jumat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Shalat kusufain
ialah shalat dua gerhana, yakni shalat karena gerhana bulan dan gerhana
matahari.Kalau gerhana bulan kita lakukan shalat khusuf, dan kalau gerhana
matahari kita lakukan shalat kusuf, kedua shalat ini hukumnya sunnah muakkad.
Waktu
melaksanakan shalat gerhana matahari yaitu dari timbul gerhana itu sampai
matahari kembali sebagaimana biasa, atau sampai terbenam.sedang shalat gerhana
bulan waktunya mulai mulai terjadinya gerhana itu sampai terbit kembali atau
sampai bulan nampak utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Nor, 2009. Ayo Memahami Fiqih. Jakarta.
Erlangga
Drs Rifa’i ,Moh. 2009. Tuntunan Shalat.Semarang. PT. Karya Toha
Putra
KH Zarkasyi Imam. 1995. Fiqih 1.Gontor.Trimurti
Press.
Disusun oleh: Haris Mulyawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar