Pendidikan Islam Sebagai Sub Sistem Pendidikan
Nasional
1.
Pendidikan
Agama Islam Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional
Jika
berbicara masalah Problematika pendidikan, maka tentu banyak hal yang perlu
kita luruskan. Mewakili masalah-msalah itu setidaknya ada tiga hal yang menjadi
dasar permasalahan. Pertama, ditinjau dari sisi filsafat keilmuan yang
menegaskan kembali dalam mengkaji apapun tidak bisa lepas dari aspek ontologi
(sumber ilmu), epistemologi (cara dan metode dalam mengembangkan ilmu), serta
aksiologi (cara memanfaatkan ilmu). Ontologi barat memandang bahwa sumber ilmu
berasal dari akal, fenomena sosial dan fenomena alam.[1][1] Seperti pandangan Aristoteles dan John
Locke mereka beranggapan manusia mulai mempelajari ilmu pengetahuan setelah ia
terlahir didunia, sehingga semua ilmu yang didapat menjadi subjek dan konstruk
sosial.[2][2] Menurut Islam sumber ilmu tidak hanya
berasal dari akal, sosial dan alam tetapi juga mengandung unsur wahyu.[3][3] Epistemolgi barat memandang bahwa yang
dinamakan ilmu hanyalah yang dihasilkan berdasrkan riset empiris, eksperimen
dan logika bebas sehingga menghasilkan ilmu sosial, sains dan filsafat. Berbeda
dengan Islam yang melihat antara hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik
memiliki hubungan erat. Aksiologi barat memandang bahwa ilmu adalah netral,
oleh karenanya ilmu bisa digunakan sesuai dengan kehendak manusia. Islam
beranggapan ilmu dalam segi ontologi dan epsitemologi bersifat netral, tetapi
dari segi penggunaannya harus didasarkan pada petunjuk Tuhan.[4][4]
Kedua,
ditinjau dari sisi Psikologi Pendidikan. Secara umum, ada tiga mazhab
pendekatan psikologi dalam belajar: Pertama, mazhab yang berangkat dari
teori-teori yang mengatakan manusia pada dasarnya dilahrikan jahat. Seperti
teori Sigmund Freud yang disebut dengan pemikiran pesimistik.[5][5] Kedua, mazhab yang mengatakan
bahwa manusia pada dasarnya dilahrikan netral, bak “tabula rasa” atau kertas
putih. Sehingga lingkunganlah yang membentuk seprti pemikiran Skinner yang
disebut pemikiran deterministik.[6][6] Ketiga, mazhab yang mengatakan
bahwa manusia dilahrikan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar bebas dan
bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam
dirinya sendiri. Teori mazhab ini seperti pandangan Abraham Mazlow dan Carl
Rogers yang dikenal aliran optimistik.[7][7] Dari tiga mazhab ini tentu memiliki
implikasi yang berbeda dengan cara pandang Islam yang melihat manusia secara
utuh. Sedangkan psikologi barat hanya memandang apa yang nampak. Bisa
disimpulkan bahwa corak berfikir barat nampak didominasi oleh intelektualitas,
namun dalam ranah spirtiualitasnya lemah.
Ketiga,
ditinjau dari sisi problematika modern. Modernisasi memang bisa memberikan
dampak positif bagi siapapun yang siap menghadapinya namun bagi yang tidak siap
akan menerima dampak negatif. Banyak problem-problem yang dihadapi sebagai
tantangan dunia pendidikan khusunya pendidikan Islam di era modern ini
disebabkan oleh modernnitas.
Ahmad
Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem pendidikan nasional kita adalah ada
ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD 1945 dengan UU Nomor 20/2003. UUD 45
harus menurunkan seluruh nilai yang ada didalam Pancasila. Nilai pertama dan
yang paling utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan YME dan nilai ini adalah core
Pancasila. Nilai ini turun dengan sempurna dalam UUD 45 dengan bukti ungkapan “atas
berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa”. Jadi core UUD 45 adalah
Ketuhanan YME. Namun yang agak disayangkan core itu tidak turun secara
sempurna ke dalam UU Nomor 20/2003 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, beakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[8][8]
Pasal
ini menurut Tafsir masih belum secara konkrit menyatakan keimanan menjadi inti
pendidikan nasional. Sehingga inilah yang menjadi pokok permasalahan dan
akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah,
selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak mejnajdikan pendidikan keimanan
sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln lebih jauh lulusan sekolah kita
tidak memiliki keimanan yang kuat.[9][9]
Tetapi
setidak-tidaknya telah nampak bahwa UU
Sisdiknas menjadi penengah sehingga, ada integrasi interkoneksi antara
pendidikan Islam dengan pendidikan nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama,
pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib
dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan
nasional, pendididikan agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur
sekolah. Ketiga, meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status
pendidikan sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem
pendidikan nasional, pendidikan agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah.
Pada jurusan ini 70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.[10][10]
Dengan
adanya peraturan pemerintah ini diharapkan pendidikan yang Islami menjadi pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran
tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya
mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu
meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang
melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya (amal saleh). Dengan demikian
pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi
nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan
secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara
demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan
nilai-nilai ilahiyah yang transcendental.[11][11]
Sehingga,
sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan
khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang
pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi
suprasistennya. Visi
pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi
pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang takwa dan
produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi
pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai
keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang
dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend
kehidupan era modern, agama dan intelek akan saling bertemu. Dengan misi
tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif
dengan memiliki ciri
khas yaitu pendidikan Islam ingin mengejawantakan nilai-nilai keIslaman.[12][12]
2.
Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
Perbincangan
mengenai kurikulum[13][13] memang terus menuai kontroverisal. Sehingga saat ini perdebatan
tentang kurikulum terus menarik untuk diikuti. Pro kontra dan berbagai kritikan
terhadap kurikulum baru yang dinyatakan adalah sebagai permainan politik
kekuasaan. Diakui bahwa faktor politik suatu negara dapat mempengaruhi produk
kebijakannya.[14][14]
Indonesia
telah mengalami 3 model rezim pemerintahan, yaitu rezim orda lama[15][15], orda baru[16][16] dan reformasi[17][17], pada setiap rezim orde terdapat
perbedaan masing-masing corak kurikulum. Sehingga tidak heran apabila
masyarakat beranggapan bahwa setiap ganti Menteri pasti kurikulum juga akan
ikut berganti. Berikut perjalan kurikulum pendidikan agama Islam dari masa
kemasa:
a.
Pendidikan Agama
Islam Masa Orde Lama (tahun 1950 dan 1964)
Usaha-usaha
untuk memasukkan pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
sebetulnya telah dilakukan sebelum masa kemerdekaan. Hal ini dapat terlihat dari adanya beberapa peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah kolonial untuk merespon mengenai pendidikan
agama pada sekolah pribumi. Walaupun pemerintah kolonial saat itu tetap
melarang memasukkan mata pelajaran agama pada sekolah pribumi, khususnya agama
Islam, namun justru hal ini tidak menghalangi munculnya sekolah-sekolah swasta
yang justru menerapkan pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajarannya.[18][18] Bahkan pada masa jepang menduduk
indonesia telah ada kantor urusan agama yang didirikan pada zaman belanda
disebut Kantoor Voor Islamiche Zaken.[19][19]
Pada
bulan desember 1946 dikeluarkanlah surat keputusan bersama (SKB) antara menteri
PP dan K dengan menteri Agama yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama
disekolah umum (negeri dan swasta), yang berbeda dibawah kementrian PP dan K.
Tentu keluarnya SKB ini memunculkan semacam dualisme pendidikan di Indonesia.
Selanjutnya pendidikan agama ini diatur secara khusus dalam UU nomor 4 tahun
1950 pada BAB XII pasal 20, yaitu: dalam sekolah negeri diadakan pelajaran
agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
tersebut. Pada tahun 1951 keluarlah peraturan bersama menteri PP dan K dan
Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20 januari 1951 (pendidikan), Nomor
K1.652 tanggal 20 januari 1951 (Agama), diatur tentang peraturan pendidikan
agama disekolah-sekolah. Pada bulan desember 1960 saat sidang pleno MPRS,
diputuskan: melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental/agama/kebudayaan. Dalam
ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran
di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas.[20][20]
Menurut
Wirjosukarto, era orde lama pendidikan di Indonesia memiliki dualistis corak
pendidikan; 1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang
sekuler, tidak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari kolonial
belanda. 2). Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbih dan berkemang
dikalangan Islam, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak
sintetis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.[21][21]
b.
Pendidikan Agama
Islam di Masa
Orde Baru (1968, 1975, 1984, 1994)
Pada
tahun 1974 muncul sebuah gagasan untuk membangun pendidikan satu atap yaitu
madrasah akan dilebur menjadi satu dengan sekolah umum. Untuk menjembataninya
maka tahun 1975 dikeluarkanlah SKB tiga menteri yaitu menteri dalam negeri,
menteri agama dan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang peningkatan mutu
madrasah. Menurut skb tersebut, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata elajaran
dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
Artinya, perbandingan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam
kurikulum madrasah adalah 30:70.
Akhirnya,
dalam rangka merealisasikan SKB tersebut, pada tahun 1976 departemen agama
mengeluarkan sebuah kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh
madrasah baik untuk MI, MTs maupun MA. Kurikulum itu juga dilengkapi dengan
pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada madrasah,
serta deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program untuk setiap
bidang studi, baik untuk studi agama maupun studi pengetahuan umum. Dan yang
terpenting dari SKB ini adalah: 1) ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama
dengan sekolah umum yang sederajat. 2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekola-sekolah umum setingkat lebih atas, dan 3) siswa madrasah dapat berpindah
ke sekolah umum yang setingkat.[22][22]
c.
Pendidikan
Agama Islam di Masa Reformasi (2004, 2006 dan menyongsong 2013)
Pada
tahun 1989 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan agar
untuk menyesuaikan dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945. Undang-undang yang baru tersebut adalah UU RI No. 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional).
Dengan
UU SISDIKNAS ini maka, penyelenggaraan pendidikan menjadi satu sistem dalam
Pendidikan Nasional. Oleh karena dalam undang-undang tersebut sudah tidak
dibedakan antara pendidikan “sekolah umum” dan madrsah sebagaimana dapat
dilihat dalam undang-undang tesebut pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang dan
Jenis Pendidikan:
“Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya”. [(pasal 13, ayat (1)]
“Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi”.[pasal 14]
“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus”. [pasal 15]
Keberadaan
madrasah (MA) secara jelas diatur dalam keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 0489/U/1992 tentang sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa
Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berciri khas Islam yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama. Demikian pula pada madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Tsanawiyah menurut peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990 yang kemudian
ditindak lanjuti dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0487/U/1992
Tahun 1992 dan No. 054/U/1993 tahun 1993 yang kemudian ditindak lanjuti dengan
KMA No. 368/93 tanggal 22 desember 1993, bahwa MI adalah SD dan MTs adalah SLTP
yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Jelas
bahwa UU sisdiknas berimplikasi semua jenjang Madrasah, mulai Ibtidaiyah, Tsanawiyah
dan Aliyah, secara umum perjenjangan itu paralel dengan perjenjangan pada
pendidikan sekolah, mulai SD, SLTP sampai SLTA. Adapun isi kurikulum kalau
dibandingkan 70% adalah pendidikan agama sedangkan 30% nya adalah bahan
pelajaran sebagaimana di sekolah setingkat.
Integrasi pendidikan agama Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, termasuk madrasah oleh departemen
pendidikan nasional, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantab
bahwa pendidikan agama Islam adalah sub sistem pendidikan nasional walaupun
pengelolaannya dilimpahkan kepada departemen agama (UU Sisdiknas, Pasal 50).[23][23]
BAB
III
PENUTUP
1. Keimpulan
Sejak
2500 tahun yang lalu socrates telah berkata bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk membuat orang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik
seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk
hal-hal yang baik (beramal saleh) dan dapat hidup secara bjak dalam seluruh
aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara.
Kareannya. Sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk
manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah
negara yang terhormat. Namun pendidikan ala socrates ini belum mampu memberikan
sesuatu yang baru bagi perubahan peradigma pendidikan kita. Hal ini karena yang
digunakan adalah Filsafat Humanisme Barat, Psikologi Pendidikannya juga barat
didukung dengan Kehidupan Modern ala barat, yang menitik beratkan pada
kehidupan manusia di dunia, tanpa ada hubungannya dengan Tuhan. Padahal kita
tahu bahwa persoalan manusia bukan hanya masalah duniawi tetapi juga
masalah ukhrowi.
Memang
negara kita bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara Islam. Namun
pendidikan agama mutlak diperlukan khususnya pendidikan agama Islam. Sebab
sebagian besar warga negara indonesia adalah beragama Islam. filsafat,
psikologi dan pemikiran dikotomi dalam pendidikan harus direkonstruksi untuk
menciptakan manusia yang memanusiakan manusia yang memahami pluralitas.
Oleh
karenanya menurut Dr. KH. Hasyim Muzadi pendidikan kita harus bersifat holistik
yang mendorong pertumbuhan bagi manusia dalam segala aspek baik spiritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah maupun bahasa. Pendidikan Islam
mengembangkan segala aspek yang dimiliki manusia. Meminjam teori Bloom aspek
kognitif, afektif maupun psikomotorik harus selaras dengan konsep
fundamentalisme Islam yaitu Iman, Ihsan dan Islam.
Dengan
demikian maka, Pendidikan Agama Islam harus selalu dikembangkan dengan konsep al-muhafadoh
ala qodimi as-solih wal-akhdu biljadid al-aslah dengan kurikulum yang
bersifat bashirun li ahli zamanihi (peka zaman.
[11][11]Sulaiman
Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika, hlm.
5.
[13][13] Definis
kurikulum menurut Ahmad Tafsir: alat atau jalan untuk mencapai tujuan hidup
anak-anak kita, yang juga merupakan tujuan hidup kita.
[14][14]Abdurrahman
Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama
Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia Alam, 2005),
hlm.4. Dalam Skripsi “Sejarah Studi Historis Pendidikan Islam” Nurhayati,
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
[15][15] Pada rentang
waktu tahun 1945-1949 dikeluarkannya kurikulum 1947. Tahun 1950-1951 ditetapkannya
kurikulum 1952. Terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964. Rezim
pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
[16][16] Pada masa orde
baru lahir empat kurikulum. 1968 ditetapkan kurikulum dan berlaku sampai tahun
1957. Selanjutnya muncul kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru
dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendektan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru yakni kurikulum
1994. Kurikulum ini menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim orde
baru yang dipimpinoleh pemerintahan Soeharto.
[17][17] Era reformasi
muncul kurikulum 2004 yang biasa disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan standar kompetensi
yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau (KTSP)